Penelitian pernah dilakukan BE Smythies (1999), yang
kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Birds of Borneo.
Delapan tahun kemudian, masalah ini juga diteliti DR Wells, yang ditulisnya
pula dalam buku The Birds of The Thai-Malay Peninsular – Vol II.
Menurut Smythies, burung
kacer ketika berada di tanah sering menurunkan ekornya, lalu
mengembangkannya hingga berbentuk seperti kipas, dan dalam waktu singkat
menutupnya kembali melalui gerakan vertikal (dari atas ke bawah).Hanya saja,
Smythies mengatakan gerakan itu tidak berarti kacer sedang mencoba mengalihkan
perhatian kepada siapapun yang mencoba mendekatinya.
Lain halnya dengan Wells. Menurutnya, perilaku
seperti itu menunjukkan bahwa kacer sedang marah karena kehadiran burung lain,
binatang lain, atau manusia yang mendekatinya, pasangannya, atau anak-anaknya.
Gerakan itu kerapkali disertai dengan nyanyian panggilan bernada marah-marah
atau ngomel-ngomel.
Sepasang anakan kacer (atas) menanti bapaknya yang
mencari cacing.
(Foto: Johnny Wee / besgroup.org)
(Foto: Johnny Wee / besgroup.org)
Penasaran dengan pendapat kedua ilmuwan tersebut,
Johnny Wee, seorang birdwatcher asal Malaysia, melakukan pengamatan di
sebuah kawasan hutan yang banyak dihuni burung kacer. Beruntung dia melihat
sepasang anakan kacer sedang nangkring di cabang pohon.
Ketika menengok ke bawah, ternyata induk jantan
sedang asyik mencari cacing tanah untuk diberikan kepada anak-anaknya yang
lapar. Ketika mengetahui keberadaan Johnny, kacer jantan langsung terbang
menjauhi anak-anaknya, dengan posisi membelakangi Johnny.
Masih dalam posisi membelakangi, kepalanya
berkali-kali menengok ke belakang. Tiba-tiba ia mengangkat bulu ekornya
tinggi-tinggi, sehingga bagian ventral (kloaka) yang banyak
ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih jelas terlihat. Bulu ekor diangkatnya
sedemikian rupa, sehingga mengembang dan berbentuk seperti kipas.
Beberapa saat kemudian, kacer jantan menurunkan
ekornya dengan gerakan cepat dari atas ke bawah. Pada saat bersamaan pula,
kedua sayapnya diturunkan hingga menyentuh tanah. Selama melakukan gerakan ini,
mulai dari mengembangkan ekor hingga berbentuk kipas, pamer pantat, dan
seterusnya, kacer mengeluarkan kicauan yang tidak merdu, seperti ngomel-ngomel.
ADEGAN 1: Kacer jantan membelakangi Johnny Wee.
ADEGAN 2: Mengembangkan ekor hingga membentuk kipas,
lalu memamerkan pantat.
ADEGAN 3: Menguncupkan ekor, untuk dihentakkan ke
bawah dengan cepat
ADEGAN 4: Menurunkan kedua sayapnya, hingga
menyentuh tanah.
(Sumber Foto: Johnny Wee / besgroup.org)
(Sumber Foto: Johnny Wee / besgroup.org)
Apa yang bisa kita simpulkan dari cerita realistis
di atas? Dalam konteks cerita di atas, kacer jantan sebenarnya mencoba
mengalihkan perhatian orang atau binatang lain yang mendekati anaknya.
Sampai-sampai harus memamerkan pantatnya.
Ketika strateginya gagal, karena Johnny tidak
melakukan gerakan apapun apalagi mengganggu anaknya, barulah si kacer kembali
terbang mendekati anaknya dan langsung berhadapan muka dengan Johnny.
Bisa dibayangkan betapa burung ini punya semangat
juang tinggi terhadap orang / binatang di sekitarnya. Jika yang mendekati
dirinya atau anak-anaknya adalah sesama kacer atau burung lain yang ukurannya
relatif sama, kacer tidak perlu harus pamer pantat. Ia langsung bertarung
menghadapinya.
Itu sebabnya, kacer layak mendapat julukan burung fighter,
demi menjaga wilayah teritorialnya, menjaga bini dan anaknya. Semoga pemahaman
ini makin membuat kita bijak dalam melakukan perawatan terhadap kacer, baik di
dalam sangkar maupun kandang penangkaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar